Ziarah Arbain dan Tantangannya dari Masa ke Masa (Bagian 1)

SHIAHINDONESIA.COM – Berziarah ke makam para Imam merupakan salah satu budaya Syiah yang tidak bisa dipungkiri. Karena ikatan batin mereka akan para imam yang maksum, kaum Syiah secara rutin melakukan ziarah, dan mereka lebih sering pergi ke Karbala dibandingkan tempat ziarah lainnya. Sepanjang sejarah, makam Imam Husain selalu menjadi tempat berkumpul bagi kaum Syiah.

Kelompok Syiah telah berziarah ke Karbala dalam segala keadaan sejak masa lalu hingga kini. Mereka menghadapi kesulitan dan bahkan bahaya dalam perjalananya. Ketika mereka bertekad, mereka mengatasi segala rintangan untuk mencapai tujuan mereka. Terlepas dari acara-acara khusus yaitu hari syahadah Imam Husain, banyak peziarah pergi ke Karbala pada waktu lain dalam setahun. Sebab ziarah ke Karbala merupakan identitas mazhab Syiah.

Seiring berjalannya waktu, kita selalu menjadi saksi akan hambatan yang dilakukan oleh penguasa yang menindas para peziarah makam Imam Husain di Karbala. Pada tahun-tahun awal setelah peristiwa Asyura, ziarah ke Karbala berperan penting dalam mengenalkan benar dan salah, atau kaum tertindas dan penindas. Sejak tahun 61 H, ketika peristiwa Asyura terjadi, hingga tahun 132 H, ketika pemerintahan Bani Umayyah berakhir dengan wafatnya Marwan bin Muhammad (dikenal dengan nama Marwan Hamar), para peziarah Imam Husain selalu dalam kesulitan dan menanggung penderitaan serta perilaku buruk sistem penguasa.

Orang-orang yang pergi ke makam Imam Husain, mengingat peristiwa menyakitkan itu, menyadari kekejaman Bani Umayyah, dan karena penindasan terhadap keluarga suci nabi (Ahlulbait), hal itulah yang membuat mereka terpengaruh dan tertarik pada Imam Husain. Ziarah Imam Husain menciptakan revolusi dalam diri seseorang dan terjadi selama perjalanan yang mencerahkan, tabir disingkirkan dari wajah buruk Bani Umayyah dan terungkaplah kesalehan keluarga Ali As.

Kejelasan penindasan terhadap para imam menjadi begitu tinggi sehingga khalifah Bani Umayyah memutuskan untuk menghentikan membanjirnya para peziarah ke Karbala. Penguasa Bani Umayyah membangun pos pemeriksaan di sekitar Karbala untuk menghadang para peziarah. Penjaga pos pemeriksaan ini adalah orang-orang yang sangat galak dan kejam saat berurusan dengan para peziarah. [1]

Terkadang para peziarah pergi ke desa Ghadaria dan Nainawa, yang terletak di timur laut dan tenggara dari makam Imam Husain, dan menjadikan kedua desa tersebut sebagai perlindungan. Para peziarah akan menjadikan dua tempat itu sebagai tujuan, dan setelah berhenti sejenak, mereka akan diam-diam pergi ke makam Imam Husain dan jika mereka tertangkap oleh polisi penguasa, mereka akan dihukum berat. Namun para pecinta Aba Abdullah As tidak berhenti untuk berziarah. Mereka pergi ke Karbala dengan berjalan kaki dan pada malam hari dengan sembunyi-sembunyi dan penuh katakutan, baik dalam kondisi sendirian maupun kelompok.

Setelah masa Bani Umayyah, rintangan-rintangan tersebut sedikit banyak masih berlanjut pada masa Bani Abbasiyah. Bani Abbasyiah, setelah mendirikan fondasi pemerintahannya, mulai menghancurkan kuburan suci dan bersikap yang tidak semestinya kepada para peziarah.

Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, orang pertama yang melakukan kezaliman tersebut adalah Mansur Davanghi. Salah satu ciri Mansur adalah kebenciannya terhadap Ahlulbait dan keturunannya. Kekejaman Mansur mencapai titik di mana para ulama mulai menentangnya; Dua dari empat mazhab Sunni (Abu Hanifah dan Malik Ibn Anas) mengeluarkan fatwa kepada masyarakat Madinah bahwa baiat kepada Mansur tidak sesuai dengan syariat (2).

Dalam kondisi para peziarah yang susah payah dan mengalami kesulitan, mereka takut akan nyawanya atau mendapat hukuman dan penyiksaan yang berat. Satu-satunya yang membuka jalan bagi para peziarah adalah perkataan Imam Baqir dan Imam Sadiq as. Beliau menganjurkan masyarakat untuk menziarahi makam Imam Husain, terutama ketika mereka dihinggapi rasa takut terhadap penguasa.

Zurarah, salah satu sahabat Imam Baqir beratanya, “Apa yang kamu katakan tentang seseorang yang menziarahii ayahmu dengan rasa takut?” Imam menjawab, “Pada hari kiamat, ketika manusia (yang menziarahi Imam Husain dengan rasa takut), merasakan ketakutan yang luar biasa, Allah akan melindungi mereka dan para malaikat akan menemui mereka dengan kabar baik dan berkata: Jangan takut dan bersedih, karena ini adalah hari kesuksesanmu. dan keselamatan.” [3]

Dalam selang waktu 7 tahun antara wafatnya Mansur dan naiknya kekuasaan Harun ar-Rasyid (158-165 H), para pecinta Ahlulbait biasanya pergi ke tempat suci Aba Abdullah dengan lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Di akhir masa pemerintahannya, Harun al-Rashid yang mengetahui animo masyarakat terhadap Ahlulbait dan banyaknya pengunjung ke Karbala, akhirnya memerintahkan untuk menghilangkan jejak-jejak yang berkaitan dengan Imam Husain As.

Sepeninggal Harun al-Rasyid, hingga Mutawakkil (Khalifah Abbasyiah) berkuasa, masyarakat lebih aman dan berziarah ke Karbala tanpa rasa khawatir. Pada tahun 232 H, ketika Mutawakkil Abbasi berkuasa, permusuhan terhadap para peziarah dan perusakan serta penghinaan terhadap makam suci Imam Husain telah mencapai puncaknya. Beliau yang memiliki kebencian terhadap keluarga Imam Ali as., memerintahkan penghancuran Imam Husain sebanyak 4 kali pada masa kekhalifahannya.

Bersambung.. klik di sini

Refrensi:

1. Torikh-e Karbalo’ va Ha’ir-e Husein

2. Ibid, hal. 137

3. Kamilu Az-Ziyarah, hal. 125

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Eksplorasi konten lain dari

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca