SHIAHINDONESIA.COM – Banyak perbedaan pendapat mengenai riwayat hidup Abdullah bin Maimun di kalangan penulis Sunni dan orientalis. Al-Baghdadi mengatakan bahwa: Maimun Disani, yang dikenal sebagai “Qadah”, seorang budak Imam Ja’far bin Muhammad As-Shadiq yang berasal dari Ahwaz, Iran, yang kala itu bertemu dengan Muhammad bin Hossein yang dijuluki dengan sebutan ‘gigi’ di penjara gubernur Irak.
Kemudian, satu sama lainnya saling mengenal dan Abdullah bin Maimun mendirikan sebuah aliran esoteric. Dzahabi menulis, bahwa Abdullah bin Maimun mendirikan sebuah aliran yang dinamai dengan julukannya, yaitu ‘gigi’. Dzahabi mengatakan, bahwa Abdullah bin Maimun adalah ahli hadis, dan pengikut dari Imam Ja’far serta termasuk orang kepercayaannya.
Al-Ma’ali meriwayatkan bahwa sekte esoterik ini diciptakan oleh tiga orang kafir, salah satunya adalah Ibnu Maimun Qadah, yang bersama-sama membuat ritual dan mengorganisir jalannya dakwah, dan mereka menjadikan Maimun sebagai pemimpin mereka lalu mereka menciptakan dia sebagai salah satu keturunan nabi.
Rashid al-Din, setelah menyebut Abu al-Khattab pendiri aliran batiniah, berbicara tentang Maimun dan putranya Abdullah, bahwa keduanya termasuk di antara para da’i. Ia mengatakan, “Keduanya termasuk di antara ulama aliran ini.” Jouni juga menulis, “Di antara mereka, muncul seorang da’i, salah satunya adalah Maimun Qadah dan putranya Abdullah bin Maimun, yang dianggap sebagai salah satu ulama besar di dalam aliran tersebut.”
Khajeh Nidzom Al-Malik di dalam buku politiknya menulis, “Seseorang dari kota Ahwaz berteman dengan Mubarak (Budak dari Ismail bin Ja’far As) Nama orang itu Abdullah bin Maimun Qadah. Suatu hari ketika mereka sedang duduk dalam keheningan, dia (Abdullah bin Maimun) berkata kepadanya, bahwa Muhammad bin Ismail ini adalah temanku dan dia memberitahuku tentang rahasianya.
Mubarak pun penasaran untuk mengetahuinya. Abdullah bin Maimun mengambil sumpah darinya, bahwa apa yang akan dia beritahu pada Mubarak, agar tidak memberitahu kepada siapa pun, kecuali hanya kepada keluarganya. Ia pun menyampaikan beberapa hal kepada Mubarak. Setelah itu, keduanya berpisah.
Mubarak pergi ke Kufah dan Abdullah pergi ke sebuah pegunungan di Irak. Di saat yang sama, ia menyeru kaum Syiah, dan kondisi kala itu Imam Musa Kadzim hidup dalam penjara. dan Mubarak menyembunyikan seruan imam, hingga yang tersebar di Kufah adalah alirannya, sebagian orang menyebut aliran Mubarak dengan sebutan Mubarakiyah dan sebagian lagi Qaramati, dan Abdullah Maimun yang berada di pegunungan Irak, ia menyebarkan aliran tersebut.
Maka menyerahkan kekhalifahannya kepada seorang yang bernama Khalaf. Dia menyuruhnya untuk pergi ke daerah Rey, Aveh, Qom, Kashan, Tabaristan, dan Mazandaran, agar semuanya menjadi Rafidah dan diseur untuk memlekuk mazhab Syi’ah, dan mereka pun menjawab seruannya. Abdullah sendiri pergi ke Basra, lalu Khalaf mendatangi kota Rey ke arah Bashabouye dan menetap di sebuah desa yang bernama Kelin. Kemudia Khalaf meninggalkan desa itu dan kembali ke kota Rey hingga ia wafat.
Putranya yang bernama Ahmad bin Khalaf menggantikan posisi ayahnya hingga datanglah seorang laki-laki bernama Ghiyath yang memiliki budi pekerti yang baik dari Kelin (sebuah tempat). Lalu Ahmad mengangkatnya menjadi khalifahnya. Ghiyath yang memiliki prinsip-prinsip agama yang ditopang dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan peribahasa Arab serta bait-bait serta kisah-kisah Arab dan menulis sebuah buku berjudul “Al-Bayan”
Maka, ketika bid’ahnya (Ahmad bin Khalaf) terungkap, Ghiyath pergi ke Khorasan, Iran, karena pada tahun 280 H, aliran tersebut baru terungkap dan pada tahun itu, muncullah seorang laki-laki di Syam yang bernama Sahib al-Khal dan membawa Amir Hossein Ali Marozi ke aliran sesatnya, kemudian muncul Abu Hatim Razi, Amir Ray Ahmad bin Ali menerima undangannya dan menjadi seorang esoteris…”
Abu Al-Ala Maari menyebut Abdullah bin Maimun al-Qadah sebagai orang yang berilmu dan salah satu murid Imam Jafar Sadiq As yang dihormati. Dia kemudian menjadi berpaling darinya. Meskipun demikian, kaum Syi’ah menerimanya sebagai ulama yang ahli hadis dan ada beberapa hadis tentang kewibawaannya. Sebelum berpaling dari ajaran imam, ia meriwayatkan kemudian Abu al-Ala membacakan beberapa bait puisi yang dikaitkan dengannya dan mengumumkan penolakannya terhadap Imam Jafar Sadiq (saw).
Shahab al-Din bin al-Amuri dalam sejarahnya tentang Dabiri memaparkan sumpah kelompok Ismailiyah yang biasa diucapkan oleh mereka. “Kami bersumpah bahwa Imamah (kepemimpinan) datang dari Ismail bin Ja’far, pemimpin penyeru yang sebenarnya, Saya (Al-Qadah) dan penggugat pertama kepada orang yang tidak menerimanya (sebagai pemimpin).
Selain pernyataan-pernyataan tersebut, referensi lain dalam hal ini juga ada pada karya Ibnu Khalqan, Moghrizi, Suyuthi dan lain-lain. Namun, yang patut diperhatikan di sini adalah pernyataan Bagdad yang dibuat pada tahun 402 Hijriah oleh sekelompok ulama ahli fikih dan yang lainnya, yang mempublikasikan dan menyatakan silsilah Dinasti Fatimiyah yang bohong dan menyebut nenek moyang mereka dengan nama “Disan bin Sa’id” yang merupakan asal muasal aliran Disaniyah.
Maimun dan putranya Abdullah tidak disebutkan dalam pernyataan ini, dan teks ini diriwayatkan oleh Abu al-Fida, Jouni dan yang lainnya dengan beberapa perbedaan. Masing-masing sejarawan dan penulis Sunni telah menulis kisah ayah dan anak ini sedemikian rupa sehingga lebih mirip kisah fiktif dari kenyataannya. Kontradiksi soal mereka tidaklah ada jalan keluarnya dan sulit mencapai pada titik terang.
Bersambung…