Usia 20-an sering kali dianggap sebagai puncak masa muda, saat tubuh masih kuat, semangat masih penuh, dan dunia terasa begitu luas untuk dijelajahi. Kita berlari dengan langkah cepat, mengejar mimpi, mengejar status, mengejar pengakuan. Di balik semua itu, ada sesuatu yang sering terabaikan: hati. Ia adalah pusat segala rasa, tempat lahirnya niat, dan wadah bagi cahaya Tuhan. Namun yang jarang kita sadari, hati itu begitu rapuh dan cepat kotor.
Tidak selalu karena dosa besar, sering kali justru karena hal-hal kecil yang kita anggap sepele. Satu kebohongan yang dianggap ringan, satu pandangan yang dibiarkan tanpa istighfar, satu kali menunda salat dengan alasan sibuk, satu gurauan yang melukai perasaan orang lain. Semua itu tampak kecil, tapi sesungguhnya setiap kali ia terjadi, ada noda hitam yang menempel di hati.
Rasulullah صلى الله عليه وآله pernah bersabda bahwa bila seorang hamba melakukan dosa, maka sebuah titik hitam akan muncul di dalam hatinya. Jika ia segera bertobat, hatinya akan kembali bersih. Tapi jika ia mengulanginya, titik itu akan semakin banyak hingga akhirnya menutupi seluruh hatinya. Bayangkan hati kita seperti kaca bening atau cermin jernih. Satu noda mungkin tak terlihat. Dua noda pun bisa jadi masih samar. Tapi perlahan, noda-noda itu menebal hingga cahaya tak lagi bisa menembusnya. Hati menjadi gelap, keras, dan kehilangan kelembutan.
Di usia muda, banyak yang merasa masih punya waktu panjang. “Nanti kalau sudah tua, aku akan berubah. Nanti kalau sudah mapan, aku akan lebih taat.” Pikiran seperti itu terdengar manis, tapi sesungguhnya ia adalah bisikan halus yang menipu. Hati tidak menunggu hingga rambut memutih untuk mengeras. Hati bisa mengeras kapan saja, bahkan di usia muda, ketika dosa kecil yang terus diulang dianggap biasa. Imam Ali عليه السلام pernah berkata, “Dosa yang paling berat adalah dosa yang diremehkan oleh pelakunya.” Inilah bahayanya: bukan pada besar atau kecilnya dosa, tetapi pada cara kita memandangnya. Saat kita berhenti merasa bersalah, saat itu pula hati mulai kehilangan cahaya.
Usia 20-an adalah masa paling rawan. Dunia begitu memikat, peluang begitu banyak, dan godaan begitu halus. Media sosial membuat pandangan haram menjadi biasa. Pergaulan yang bebas menormalisasi perbuatan yang dulunya dianggap tabu. Bahkan dalam diri sendiri, ada bisikan yang selalu berkata, “Ah, cuma sekali. Nanti bisa istighfar.” Dan dari sekali itu, lahirlah kebiasaan. Dari kebiasaan, lahirlah ketergantungan. Sampai akhirnya kita tak lagi sadar bahwa hati telah tertutup.
Padahal, hati adalah pusat hidup kita. Jika ia kotor, doa yang kita panjatkan pun terasa hambar. Salat yang kita lakukan sekadar gerakan. Nasehat yang masuk ke telinga tak sampai ke jiwa. Kita merasa jauh dari Allah, padahal sesungguhnya hati kitalah yang terhalang oleh noda. Imam Ja’far al-Shadiq عليه السلام pernah berkata, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya.” Bagaimana mungkin kita bisa mengenal diri jika hati kita tertutup? Bagaimana mungkin kita bisa mengenal Tuhan jika cermin hati tidak lagi mampu memantulkan cahaya-Nya?
Namun, di tengah semua itu, ada kabar yang menenangkan: hati memang cepat kotor, tetapi ia juga cepat dibersihkan. Allah tidak pernah menutup pintu kembali, asalkan kita tidak menundanya. Setiap istighfar yang tulus adalah sapuan lembut yang membersihkan noda. Setiap air mata tobat adalah hujan yang mengguyur kegelapan. Setiap sujud yang khusyuk adalah cahaya yang menembus ke dalam jiwa. Imam Musa al-Kazim عليه السلام berkata, “Bukan dari golongan kami orang yang tidak menghisab dirinya setiap hari. Jika ia berbuat baik, ia memohon tambahan kepada Allah. Dan jika ia berbuat buruk, ia segera memohon ampun dan bertobat kepada-Nya.” Inilah jalan pulang yang selalu terbuka, tetapi hanya bagi mereka yang tidak menunda.
Maka, janganlah remehkan dosa kecil. Karena setiap kali kita meremehkan, kita sebenarnya sedang membuat hati kita terbiasa dengan kegelapan. Seperti pakaian putih yang dibiarkan bernoda tanpa dicuci, lama-lama noda itu menjadi sulit dihilangkan. Hati pun demikian, jika tidak segera dibersihkan dengan istighfar dan taubat, ia akan mengeras.
Usia 20-an adalah usia emas. Jangan biarkan masa yang indah ini berlalu dengan hati yang kotor. Jangan menunggu tua untuk kembali, sebab tidak ada jaminan usia akan panjang. Pulanglah dari sekarang, sebelum jalan pulang itu tertutup oleh kegelapan hati. Jagalah hati, rawatlah dengan doa, bersihkan dengan istighfar, dan jangan pernah menyepelekan hal-hal kecil. Karena setiap dosa kecil yang kita hindari hari ini adalah cahaya yang kelak akan menuntun kita di jalan panjang menuju Tuhan.
Hati adalah rumah. Jika ia bening, cahaya akan selalu menyinari. Jika ia keruh, bahkan dunia yang paling indah pun terasa hampa. Maka rawatlah rumah itu sejak muda, agar kelak kita bisa pulang dengan damai.