SHIAHINDONESIA.COM – Ada sebuah momen dalam sejarah Islam yang tidak banyak dibicarakan di mimbar-mimbar umum, tetapi bagi sebagian besar umat Islam, terutama dari kalangan Ahlulbait, momen ini adalah kunci untuk memahami arah kepemimpinan umat setelah Rasulullah wafat. Peristiwa itu terjadi di sebuah tempat yang tidak begitu terkenal bernama Ghadir Khumm, dan hingga hari ini, peristiwa tersebut dikenang sebagai Hari Raya Ghadir atau ‘Eid al-Ghadir, yang jatuh pada tanggal 18 Dzulhijjah.
Sebuah Perjalanan, Sebuah Perhentian yang Tidak Biasa
Tahun itu adalah tahun ke-10 Hijriah. Rasulullah ﷺ baru saja menyelesaikan haji terakhirnya, yang kemudian dikenal dengan Haji Wada’, karena setelah itu beliau tidak lagi berhaji hingga wafat. Haji tersebut menjadi istimewa karena Rasulullah membawa ribuan kaum Muslimin bersamanya dan menyampaikan banyak pesan penting kepada umat. Namun, rupanya belum semua pesan disampaikan saat di Mekkah. Ada satu pesan terakhir yang sangat penting dan harus disampaikan dalam perjalanan pulang.
Di tengah perjalanan menuju Madinah, tepatnya di sebuah lembah bernama Ghadir Khumm, Rasulullah tiba-tiba memerintahkan seluruh rombongan untuk berhenti. Bagi yang sudah jauh di depan, diperintahkan kembali. Yang masih di belakang, diperintahkan menyusul. Waktu itu sangat panas, matahari menyengat, dan tanah tandus. Namun Rasulullah tetap memilih tempat itu untuk menyampaikan pesan yang sangat agung.
Mengapa harus berhenti di situ? Mengapa tidak menunggu sampai tiba di Madinah atau menyampaikannya saat haji di Mekkah yang lebih nyaman dan megah?
Karena wahyu dari Allah telah turun. Sebuah perintah yang tidak bisa ditunda-tunda. Allah berfirman dalam Surah Al-Ma’idah ayat 67:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Jika tidak engkau sampaikan, maka engkau tidak menyampaikan risalah-Nya (dengan sempurna). Dan Allah akan memelihara engkau dari (gangguan) manusia.”
(QS. Al-Ma’idah: 67)
Ayat ini menunjukkan bahwa pesan yang akan disampaikan bukanlah pesan biasa. Bahkan, ayat ini memberi tekanan yang kuat: jika tidak disampaikan, maka risalah dianggap belum sempurna! Inilah bukti bahwa pesan ini bukan tentang hukum makanan, atau aturan wudhu, atau tata cara salat—tetapi tentang masa depan umat.
Khutbah di Bawah Terik Matahari
Di bawah panas menyengat, Rasulullah berdiri di atas mimbar darurat yang dibuat dari pelana unta. Beliau menyampaikan khutbah panjang yang menggugah hati. Beliau memuji Allah, mengingatkan tentang pentingnya menjunjung Al-Qur’an dan ajaran Islam, serta memperingatkan umat agar tetap berpegang teguh pada dua pusaka penting yang akan beliau tinggalkan.
Lalu, Rasulullah memanggil sepupunya, menantunya, dan sahabat terdekatnya—Ali bin Abi Thalib—dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Kemudian beliau berkata dengan suara lantang:
من كنت مولاه فهذا علي مولاه
“Barang siapa yang aku adalah pemimpinnya (mawlāhu), maka ini—Ali—adalah pemimpinnya.”
Ucapan ini menggema ke seluruh kerumunan. Para sahabat tercengang. Ini bukan sekadar pujian biasa. Ini adalah deklarasi, penegasan, dan penunjukan.
Setelah itu, para sahabat satu per satu datang mengucapkan selamat kepada Ali bin Abi Thalib. Di antara mereka, seorang tokoh besar yang kelak juga memimpin umat, yaitu Umar bin Khattab, berkata:
“Bakhin bakhin laka ya Ali, asbahta mawlaya wa mawla kulli mu’minin wa mu’minah.”
“Selamat, selamat wahai Ali. Engkau kini menjadi pemimpinku dan pemimpin setiap laki-laki dan perempuan yang beriman.”
Apa yang Sebenarnya Terjadi di Ghadir Khumm?
Pertanyaan ini masih menjadi bahan kajian, renungan, bahkan perdebatan hingga hari ini. Kata kuncinya adalah “mawla”. Kata ini dalam bahasa Arab memang memiliki makna yang beragam: bisa berarti teman, pelindung, penolong, dan juga pemimpin atau wali. Tapi dalam konteks khutbah Ghadir, kata ini tidak mungkin hanya bermakna ‘teman’. Karena Rasulullah sedang menyampaikan pesan ilahi—tentang masa depan, tentang penerus.
Apalagi, sebelumnya Nabi telah berkali-kali menunjukkan keutamaan Ali. Di perang Khandaq, beliau bersabda:
“Seluruh iman sedang menghadapi seluruh kekufuran,” ketika Ali berhadapan dengan Amr bin Abd Wudd.
Di Khaibar, Nabi berkata:
“Besok, aku akan berikan bendera kepada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya, dan Allah serta Rasul-Nya pun mencintainya.”
Dan bendera itu diberikan kepada Ali.
Kini, di Ghadir, pengangkatan itu menjadi terang. Bukan dalam ruang politik, tapi dalam ruang risalah, amanah, dan bimbingan umat.
Hari itu, 18 Dzulhijjah, bukanlah hari biasa. Ia menjadi penanda penting dalam sejarah Islam—hari ketika Rasulullah menyampaikan wasiat terpentingnya: tentang siapa yang akan memimpin umat setelah beliau. Sebagian umat Islam, terutama dari mazhab Ahlulbait, merayakan hari itu sebagai hari raya terbesar setelah Idul Fitri dan Idul Adha. Bagi mereka, Ghadir adalah hari kepemimpinan, hari kebenaran, dan hari cinta kepada Ahlulbait.
Namun, siapapun kita—apapun mazhab kita—peristiwa Ghadir mengajarkan satu hal penting: bahwa Islam bukan hanya agama ritual, tapi agama yang memikirkan arah dan pemimpin bagi umatnya, bukan demi kekuasaan, tapi demi kelestarian kebenaran.